Hasil penelitian United Nation Development Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti (http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDMOjY=, diakses 7 Desember 2008). Indonesia memperoleh indeks 0,728. Dan jika Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN yang dilibatkan dalam penelitian, Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari sembilan negara ASEAN. Salah satu unsur utama dalam penentuan komposit Indeks Pengembangan Manusia ialah tingkat pengetahuan bangsa atau pendidikan bangsa. Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang rendah.
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130 negara di dunia. Education development index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965).
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tercermin dari daya saing di tingkat internasional. Daya saing Indonesia menurut Wordl Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7.
Salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %.
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan mengadakan sertifikasi. Dengan adanya sertifikasi, pemerintah berharap kinerja guru akan meningkat dan pada gilirannya mutu pendidikan nasional akan meningkat pula.
HAKEKAT SARTIFIKASI
Ada yang berpendapat bahwa sejatinya sertifikasi adalah alat untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Bahkan yang lebih berani mengatakan bahwa sertifikasi adalah akal-akalan pemerintah untuk menaikkan gaji guru. Kata sertifikasi hanyalah kata pembungkus agar tidak menimbulkan kecemburuan profesi lain.
Pemahaman seperti itu tidak terlalu salah sebab dalam Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 16 disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik, berhak mendapatkan insentif yang berupa tunjangan profesi. Besar insentif tunjangan profesi yang dijanjikan oleh UUGD adalah sebesar satu kali gaji pokok untuk setiap bulannya.
Namun, persepsi seperti itu cenderung mencari-cari kesalahan suatu program pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahterann guru dalam kaitannya dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Di samping itu, menurut Samami dkk. (2006:3), yang perlu disadari adalah bahwa guru adalah subsistem pendidikan nasional. Dengan adanya sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.
IMPLEMENTASI SERTIFIKASI
Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin dari uji kompetensi. Uji kompetensi dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profeisonal guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan.
Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam bentuk penilaian portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional.
Apa yang menjadi keprihatinan banyak pihak ini dapat dimaklumi. Hal ini dikarenakan pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak lebih dari penilaian terhadap tumpukan kertas. Kelayakan profesi guru dinilai berdasarkan tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan. Padahal untuk membuat tumpukan kertas itu pada zaman sekarang amatlah mudah. Tidak mengherankan jika kemudian ada beberapa kepala sekolah yang menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya tidak mencapai batas angka kelulusan. Mereka berharap guru-guru tersebut dapat mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat sertifikasi, maka akan banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara cuma-cuma. Dan pada gilirannya, ilmu yang mereka dapatkan di diklat sertifikasi akan diterapkan di sekolah atau di kelas.
Hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional terasa akan menjadi kenyataan bila dibandingkan dengan pelaksanaan sertifikasi di beberapa negara maju, khusunya dalam bidang pendidikan. Hasil studi Educational Testing Srvice (ETS) yang dilakukan di delapan negara menunjukkan bahwa pola-pola pembinaan profsesionalisme guru di negara-negara tersebut dilakukan dengan sangat ketat (Samami dkk., 2006:34).
Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Inggris yang menerapkan sertifikasi secara ketat bagi calon guru yang baru lulus dari perguruan tinggi. Di kedua negara tersebut, setiap orang yang ingin menjadi guru harus mengikuti ujian untuk memperoleh lisensi mengajar. Ujian untuk memperoleh lisensi tersebut terdiri dari tiga praksis, yaitu tes keterampilan akademik yang dikenakan pada saat seseorang masuk program penyiapan guru, penilaian terhadap penguasaan materi ajar yang diterapkan pada saat yang bersangkutan mengikuti ujian lisensi, dan penilaian performance di kelas yang diterapkan pada tahun pertama mengajar.Mereka yang memiliki lisensi mengajarlah yang berhak menjadi guru.
Keterpurukan mutu pendidikan Indonesia di dunia internasional memang amat memprihatinkan. Akan tetapi, keprihatinan ini jangan sampai membuat kita putus harapan. Keterpurukan ini hendaknya membuat kita sungguh-sungguh terdorong mencari jalan yang tepat, bukan dengan cara-cara instan dan mengutamakan kepentingan pribadi.
Salah satu jalan yang ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi mutu pendidikan yang rendah ini adalah dengan meningkatkan kualitas gurunya melalui sertifkasi guru. Pemerintah berharap, dengan disertifikasinya guru, kinerjanya akan meningkat sehingga prestasi siswa meningkat pula. Namun dalam pelaksanaannya, sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio memberi banyak peluang pada guru untuk menempuh jalan pintas. Hal ini disebabkan profesionalisme guru diukur dari tumpukan kertas. Indikator inilah yang kemudian memunculkan hipotesis bahwa pelaksanaan sertifikasi dalam wujud penilaian portofolio tidak akan berdampak sama sekali terhadap kinerja guru, apalagi terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Di samping itu, berkaca pada pelaksanaan sertifikasi negara-negara maju, terutama dalam bidang pendidikan, peningkatkan mutu pendidikan hanya dapat dicapai dengan pola-pola dan proses yang tepat. Pola-pola instan hanya akan menghambur-hamburkan dana dan waktu menjadi terbuang percuma. Sedangkan apa yang menjadi substansi sama sekali tidak tersentuh.
Sertifikasi tidak akan berdampak sama sekali terhadap kinerja guru, memang baru sebuah hipotesis. Hipotesis ini memang harus dibuktikan melalui sebuah penelitian. Akan tetapi, tidak ada salahnya bila kita mengatakan sertifikasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan-atau bahkan tidak memiliki pengaruh sama sekali-terhadap kinerja guru berdasarkan indikator-indikator yang tampak di depan mata. Sayangnya sampai saat ini-berdasarkan pantauan di mesin pencari www.google.com-belum ada yang melakukan penelitian pengaruh sertifikasi terhadap kinerja guru secara nasional. Semoga di masa mendatang ada yang meneliti masalah tersebut demi peningkatan mutu pendidikan nasional.
SUMBER :www.dispendikkabprob.org
Home » kualitas guru »
mutu guru »
sekolah berkualitas »
sertivikasi guru
» PENGARUH SERTIVIKASI TERHADAP KINERJA GURU
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "PENGARUH SERTIVIKASI TERHADAP KINERJA GURU"
Post a Comment