Dunia Pendidikan antara Merdeka atau Mati


AGUSTUS ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat berbagai demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak mampu bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Apakah mereka sudah memperoleh kemerdekaan ? Atau mereka masih berjuang merebut kemerdekaan ?


AGUSTUS ini bulan kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kenyataannya di bulan Juli lalu, kita mesti terharu melihat berbagai demo guru dan mendengar jeritan orang tua murid yang tak mampu bayar dana sumbangan pendidikan (DSP). Apakah mereka sudah memperoleh kemerdekaan ? Atau mereka masih berjuang merebut kemerdekaan ?

Kemerdekaan merupakan hak setiap bangsa untuk dapat diperjuangkan di muka bumi ini. Begitu pula halnya kemerdekaan di dunia pendidikan kita, masih harus terus diperjuangkan. Saya benar-benar terharu, yang namanya wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun (Wajar Dikdasmen) masih dicemari oleh berbagai pungutan yang sangat membebani para orang tua yang lagi kesusahan. Abang becak, pegawai pabrik yang kena PHK; PNS jujur semuanya menjerit ketika mendaftarkan anak tercintanya ke SD, SMP atau SMA Negeri diharuskan menyerahkan uang masuk yang sudah dipatok oleh pihak sekolah dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Begitu pula halnya UU guru dan dosen yang sudah capai-capai dilahirkan oleh para anggota DPR yang terhormat kenyataannya tak ada bedanya dengan UU pokok agraria. Memang, apa hendak dikata kita ini sudah terkenal pandai membuat konsep tapi belum pandai menerapkannya.

Kemerdekaan di dunia pendidikan kita tampaknya masih berupa angan-angan. Sekali lagi saya sangat terharu. Ketika pada bulan Juli lalu, banyak orang tua menjerit karena anak tercintanya masuk SMP, SMA bahkan perguruan tinggi (PT) mesti pakai duit dengan jumlah semakin melangit. Jadinya orang berada menderita, orang tak punya sengsara. Ini lah salah satu tanda dunia pendidikan kita belum merdeka. Kemerdekaan ternyata belum juga dirasakan oleh kebanyakan guru dan dosen. Guru sebenarnya lebih mending, PP nya lagi dibikin; tetapi bagaimana dengan PP dosen ?. Tampaknya dosen mah jalan sendiri saja lah. Oleh karenanya tak usah lah tanya-tanya. Mengapa kita kalah maju sama Malaysia ?. Mengapa Vietnam masuk delapan besar, sedangkan PSSI tidak ?. Kita tahu sendiri lah jawabnya. Dunia pendidikan kita belum merdeka.

Ironis memang. Di satu pihak orang kecil begitu bersemangatnya ingin menyekolahkan anak tercintanya guna merubah nasib keluarga, namun di pihak lain biaya sekolah yang membumbung tinggi menghadangnya bagai barrier yang mesti dilewati. Akhirnya di musim PSB/PMB, pegadaian bahkan rentenir kebanjiran konsumen.

Yang tidak bisa menggadaikan barang dan tidak mau pergi ke rentenir, terpaksa dengan deraian air mata melepas anaknya ke perempatan jalan. Jadi pengamen dan atau pedagang asongan. Memang, kemiskinan amat dekat dengan kebodohan.

Dunia pendidikan kita ternyata baru bisa menciptakan kesenjangan. Senjang kaya – miskin, karena memang dunia pendidikan kita tren nya seperti untuk orang kaya saja. Saya kira cukup sulit bagi orang miskin untuk bisa memasukkan anaknya ke SMP Negeri, bila diharuskan bayar ratusan ribu rupiah.

Dunia pendidikan kita belum merdeka sangat dirasakan oleh para tukang becak, ketika diharuskan membayar biaya sekolah anaknya yang disamakan dengan anak para pengusaha. Penyamarataan bayaran biaya sekolah rasanya kurang adil, sama halnya dengan pembedaan layanan guru terhadap anak orang kaya dan anak orang miskin. Dalam hal ini lah pemerintah mesti turun tangan, jangan hanya pada saat kampanye saja.

Terus terang kita prihatin melihat perpustakaan yang tak menarik untuk dikunjungi, melihat ruang kelas bagaikan kandang ayam; melihat pungutan pada siswa baru dengan dalih yang terasa di buat-buat.

Apa lagi dunia pendidikan tinggi kita sekarang ini cenderung didominasi oleh orang yang berduit saja. Hitungannya sudah bukan jutaan lagi tapi puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Bayangkan saja untuk bisa kuliah melalui jalur apa lah namanya di Fakultas Kedokteran Unsoed, orang tua harus mampu menyediakan uang 100 jutaan rupiah. Sekarang ini yang boleh dikatakan paling murah hanya ke Fakultas Pertanian, karena memang mencangkul sih pekerjaan yang sedang terpinggirkan.

Ironis sebenarnya orang-orang kampus sendiri yang hidupnya hanya untuk ilmu, kesejahteraannya boleh dibilang kurang menggembirakan bila dibandingkan dengan orang kampus yang kerjanya seperti burung alap-alap.

Kemerdekaan pendidikan di negeri ini boleh dikatakan semakin luntur. Anggaran BOS menggelontor, tapi orang tua murid selalu dihantui oleh keharusan beli buku. Buku gratis pemberian pemerintah, tampaknya sudah tinggal kenangan. Dulu waktu zaman normal kita itu masih bisa baca buku milik negara. Sekarang mah baca buku pinjam dari kakak kelas pun sering terganggu oleh yang namanya pembaruan kurikulum.

Saya kagum pada Bupati Kabupaten Muba Provinsi Sumsel yang telah mampu melaksanakan Wajar 15 tahun secara gratis alias tanpa pungutan (Republika, 6/7-2007). Saya hormat walaupun belum puas pada Bupati Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat yang telah mampu menolak permintaan izin penjual buku pelajaran (”PR”

, 3/7-2007). Saya gembira walaupun belum nyata pada Wali Kota Bandung yang mau menaikkan gaji guru (”PR”, 25/7-2007). Namun saya masih prihatin melihat gonta-ganti kurikulum lalu gonta-ganti buku pelajaran. Saya prihatin melihat bandelnya UN lalu bimbingan test semakin marak. Dikemanakan wibawa orang tua yang tidak mampu menyayangi anaknya lewat bimbel ?. Apa khabar para pengajar di sekolah, yang kemerdekaannya terus diganggu ??. Guru yang dibanggakan tergerus oleh bimbel yang sudah jadi kebanggaan.

Seiring dengan turunnya dana BOS sudah saatnya manajemen pendidikan ditegakkan. Sekolah yang masih kekurangan dana jangan minta ke murid, minta lah ke pengusaha yang berkelas konglomerat yang suka menabung di Singapura. Hindarkan beban anak-anak kita dari soal pungutan uang, agar mereka dapat fokus pada prestasi. Saya bangga melihat pelajar kita yang mampu menyabet emas di Olimpiade Fisika. Sebaliknya saya prihatin ketika melihat pelajar kita pakai anting mungkin sedang over acting saking pusing ngemutan uang pungutan. Namun saya tetap kagum, ketika melihat isi tas pelajar kita yang berat-berat itu ternyata masih dijejali oleh buku-buku agama pegangan kita.

Begitu pula seiring dengan terealisasinya 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN, sudah saatnya UU guru dan dosen diimplementasikan. Nasibnya jangan seperti UU pokok agraria sebatas jadi pajangan saja. Mohon maaf, PP untuk Dosen sepertinya tak teragenda dalam bahasan di DPR.

Belum merdekanya dunia pendidikan kita ini, tampaknya memerlukan campur tangan Pak SBY. Pak SBY, seorang presiden yang begitu telaten dalam memberikan penghargaan. Hanya saja sayang, penghargaan kepada dosen belum saya lihat beliau berikan. Kata salah seorang anggota DPR mah, dosen itu kulturnya lain. Saya tak tahu, apa yang dimaksud kultur lain itu. Apakah dosen itu sama dengan malaikat yang tidak punya nafsu keduniaan ?. Wallahualam. Yang jelas dosen itu sekali saja berbuat khilaf, langsung masuk penjara.

Ya Allah, kata Pak Rokhmin Dahuri. Di mana, keadilan di negeri ini ?. Saya yang handeueul teu kacepretan akhirnya hanya bisa berucap, Ya Allah, semoga kebenaran di negeri ini ditampakkan. Yang benar itu benar, yang salah itu salah. Dirgahayu HUT RI. Merdeka! (diambil dari Harian Pikiran Rakyat : Dr. Dedy Sufyadi)



0 Response to "Dunia Pendidikan antara Merdeka atau Mati"

Post a Comment