Reoritentasi Belajar: Bukan Nilai, Tapi Kecakapan

“Waduh, besok ulangan, mesti belajar nih gw!” Ungkapan fiksi sederhana yang nampaknya cukup merepresentasikan kondisi pelajar masa kini. Sebuah kondisi dimana nilai ulangan, tes, ujian, dsb, menjadi orientasi belajar para siswa. Mereka menghafal rumus, teori, dan semua penjelasan di buku hanya untuk satu tujuan: mendapatkan nilai yang baik. Lalu apakah dengan nilai yang baik berarti pelajar tersebut sudah memahami pokok bahasan tersebut? Apakah dengan nilai yang baik berarti sudah mampu menjadi manusia yang lebih baik dan bisa bermanfaat bagi masyarakat?

Memahami Esensi Pendidikan
Secara umum, pendidikan dapat didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk memanusiakan manusia. Karena pendidikanlah yang bertugas untuk melakukan transmisi nilai (value) dan pengembangan potensi. Sehingga nantinya manusia akan punya ‘pedoman hidup’ berupa nilai-nilai serta kecakapan yang akan diaplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam filosofi pendidikannya, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa perkembangan manusia itu meliputi tiga aspek: Daya Cipta (Kognitif), Daya Rasa (Afektif), dan Daya Karsa (Konatif). Dari filosofi tersebut kita bisa menyimpulkan bahwasanya manusia itu punya lebih dari satu aspek untuk dikembangkan melalui pendidikan. Sehingga penitikberatan terhadap salah satu aspek saja akan berakibat fatal terhadap masa depan sang manusia dan juga lingkungan masyarakat yang didiaminya. Salah satu contoh aktualnya ada maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di negeri ini.

Ibarat dalam kondisi perang, pendidikan adalah sebuah proses pengumpulan bekal baik berupa kecakapan maupun mental agar bisa menjadi prajurit yang gagah di medan perang. Jika pendidikan tak mampu menjalankan tugasnya tersebut, maka kekalahan di medan perang niscaya akan sering terjadi. Ini pulalah yang menjadi salah satu sebab pokok dari krisis multidimensi di negeri ini.

Orientasi Belajar: Nilai atau Kecakapan?
Maksud hati sebenarnya nilai (score) itu digunakan sebagai sebuah parameter yang akan menunjukkan tingkat kepahaman pelajar untuk pokok bahasan tersebut. Namun di lapangan terjadinya banyak ketidaksinkronan. Itu berarti, kini nilai yang menjadi standard acuan itu tak lagi representatif.

Salah satu bentuk ketidaksinkronan tersebut adalah belajar hanya menjelang ujian atau sering disebut SKS (Sistem Kebut Semalam). Hal ini membuat pokok bahasan hanya akan menjadi hafalan jangka pendek bagi para pelajar yang mungkin hanya akan berguna untuk ujian saja. Jika hal itu yang terjadi, jangankan bisa dimanfaatkan dalam kehidupan bermasyarakat, memaknainya saja mungkin jarang dilakukan.

Bentuk ketidaksinkronan yang kedua adalah dianggapnya menyontek sebagai bagian dari usaha. Bagi penulis, ini adalah sebuah penghinaan yang ditujukan pada kaum sendiri, kaum terpelajar. Dulu, orang terpelajar adalah orang yang dielu-elukan masyarakat karena prospek masa depannya yang cerah. Tapi kini, sebagian dari kita telah menjerumuskan diri sendiri di dalam lubang kenistaan. Selain itu, menyontek ternyata juga berdampak buruk bagi psikologis bagi pelajar. Mereka akan menjadi malas dan tidak percaya diri. Rasa-rasanya mata rantai korupsi di Indonesia akan terus berlanjut jika mental dari para penerus bangsa masih seperti ini.

Pada dasarnya manusia telah disediakan jalan yang lurus di dunia ini. Jalan kebenaran. Namun, nafsu duniawi telah menggelapkan mata manusia, sehingga kenistaanlah yang tepat untuknya. Pendidikan yang semula memiliki misi luhur pun akan menjadi nista jikalau para pelajarnya tidak mampu mengontrol nafsu mereka. Kini hati yang bicara.

Reorientasi Belajar: Mengembalikan Pendidikan ke Jalan yang Lurus
Menghentikan mata rantai kebobrokan mental di negeri ini. Itulah salah satu ‘PR’ kita sebagai generasi penerus. Salah satu caranya adalah dengan reorientasi belajar. Jangan lagi terlalu menganakemaskan nilai, karena pada dasarnya nilai itu akan ikut dengan sendirinya jika kita sudah paham tentang pokok bahasan tersebut.

Namun, tugas kita kini bukan hanya harus paham, tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Karena ilmu dan pengetahuan yang telah kita dapatkan di sekolah itu tidak ada harganya jika hanya diganjar dengan nilai atau ijazah. Akan tetapi, ia akan sangat berharga jika dengan hal itu kita mampu berkontribusi di masyarakat bahkan mengubah bangsa, apalagi dunia.

Pada dasarnya setiap pelajaran yang diberikan itu aplikatif. Sehingga salah besar jika kita menyebut ada yang namanya pelajaran hafalan. Yang ada hanyalah pokok bahasan yang sulit untuk diaplikasikan dalam waktu dekat karena keterbatasan sarana yang ada. Tapi masih banyak pokok bahasan lain yang sebenarnya bisa kita aplikasikan dalam waktu dekat. Seperti bagaimana sosiologi mengajarkan kita tentang perilaku menyimpang berikut pengendalinya. Bagaimana ekonomi mengajarkan pada kita tentang penyebab perubahan kondisi perekonomian seperti inflasi, fluktuasi kurs rupiah, hingga masalah APBN. Bagaimana biologi membuka wawasan kita tentang sifat-sifat tumbuhan dan hewan yang semestinya harus bisa hidup berdampingan dengan kita.

Untuk menghentikan krisis multidimensi di negeri ini dan menjawab tantangan masa depan, perubahan dalam bidang pendidikan mutlak diperlukan. Sebagai pelajar, yang bisa kita lakukan adalah mengubah orientasi belajar kita dan berusaha ‘menyambungkan’ setiap pokok bahasan yang kita pelajari dengan fenomena alam dan sosial. Ketika pendidikan sudah kembali ke jalan yang lurus, perubahan besar bangsa ini bukan lagi sekedar mimpi.

Perubahan Arus Bawah: Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Bangsa
Pandangan tertunduk, tak berani menatap ke depan. Mereka takut dengan tantangan zaman. Mereka tak berani melakukan perubahan. Merekalah sebagian pemuda zaman sekarang.

Bagi bangsa yang memiliki tingkat keberagaman sangat tinggi, perubahan arus atas (kebijakan/peraturan) dirasa kurang efektif, mengingat besarnya potensi penolakan akibat banyaknya perbedaan pandangan. Sehingga salah satu cara yang lumayan efektif adalah perubahan arus bawah. Perubahan dari akar rumput. Perubahan yang dimulai dengan cara mengubah diri sendiri dan mengajak orang lain untuk ikut berubah. Dalam Islam, hal ini disebut dakwah.

Langkah pertama adalah meyakini diri sendiri tentang kebenaran ini. Kebenaran tentang esensi pendidikan yang sebenarnya. Kebenaran tentang orientasi belajar yang benar. Kebenaran tentang keharusan ‘menyambungkan’ pokok bahasan dengan fenomena alam dan sosial. Keyakinan tersebut nantinya akan menampilkan sosok baru dari diri kita dan mungkin saja akan menimbulkan pertanyaan dari sebagian teman kita. “Makin lama makin cerdas aja lu?”, “Wuih, wawasan lu kok makin luas aja?”, “Lu kok bisa dapet nilai bagus tanpa nyontek sih?”, Jawab pertanyaan itu dengan yakin: “Karena gw telah melakukan apa yang seharusnya pelajar lakukan.”

Ketika pendidikan sudah kembali ke jalan yang lurus, perubahan besar bangsa ini bukan lagi sekedar mimpi.” (Pratama)

sumber: notes FB pribadi

0 Response to "Reoritentasi Belajar: Bukan Nilai, Tapi Kecakapan"

Post a Comment