Budaya menulis sebenarnya bukan dominasi penulis saiapapun bahkan orang yang tidak sekolahpun memiliki kemampuan untuk itu. Tapi dosen adalah makhluk yang punya kapasitas untuk mengembangkan semua pemikirannya melalui tulisan selain mentransfer ilmunya pada mahasiswa.
Budaya menulis kalangan dosen di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan dosen di luar negeri. Dari 1.200 dosen yang ada di Institut Teknologi Bandung (ITB), hanya sekitar 400 orang atau 30% yang mempunyai kemampuan menulis. Hal itu diungkapkan Kepala ITB Press, Prof. Ir. Amrinsyah Nasution, M.S.C.E., Ph.D. dalam seminar pembukaan “Academic Book Fair” di Aula Barat ITB, Jln. Ganesha Bandung, Selasa (6/1).
Dikatakan Amrinsyah, salah satu kelemahan budaya menulis kalangan dosen di Indonesia, yakni para dosen Indonesia kurang memiliki kemampuan dalam menuangkan buah pikiran melalui sarana pendidikan. “Hingga saat ini, budaya itu masih melekat di kalangan dosen kita,” ujarnya.
Hambatan lain yang menyebabkan kalangan dosen enggan menulis, tambahnya, karena tidak punya banyak waktu dan imbalan menulis yang masih relatif kecil. Karena itu, lanjutnya, pihaknya akan meminta kepada pemerintah untuk menyediakan dana bagi para penulis dari kalangan dosen. “Padahal, kalangan dosen dengan kemampuan dan dasar keilmuan yang dimiliki bisa menulis buku berkualitas bagi masyarakat maupun siswa dan mahasiswa,” ujarnya.
Amrinsyah menyayangkan, kegiatan atau kebiasaan menulis tidak menjadi bagian kegiatan dosen di perguruan tinggi. Sementara di luar negeri, katanya, kegiatan menulis sudah menjadi bagian dosen dalam kegiatannya sehari-hari. “Kebanyakan buku ajar atau buku teks untuk para mahasiswa merupakan karya tulis para dosen,” katanya.
Oleh karena itu, ungkap Amrinsyah, para dosen di Indonesia tidak bisa atau tidak mampu menulis. “Padahal banyak yang bisa ditulis untuk menunjang kariernya ketika menjadi dosen,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jabar, Anwaruddin, kepada wartawan meminta pemerintah untuk meninjau kembali keputusan membeli hak ciptapenerbitan buku pelajaran. Menurutnya, apa yang telah dilakukan pemerintah itu telah merugikan kalangan penerbit. “Kami sudah meminta kepada pemerintah berkali-kali agar keputusan itu ditinjau kembali. Namun, hingga kini belum mendapat tanggapan,” ujarnya.
Selain itu, sekalipun sudah menjadi kebijakan, Anwaruddin meminta kepada pemerintah untuk melakukan kompromi dengan kalangan penerbit. Pasalnya, tambahnya, para penerbit selain mencari keuntungan, juga mempunyai tanggung jawab terhadap isi buku untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. “Namun, apa yang dilakukan pemerintah bukannya melindungi para penerbit yang telah turut serta mencerdaskan bangsa, tetapi malah menindas dengan kebijakannya, ” paparnya.
Dampak dari kebijakan pemerintah itu, ujarnya, banyak penerbit yang mengalihkan penerbitannya pada buku agama. Diprediksi pada tahun 2009, prospek buku agama akan jauh lebih berkembang dari buku-buku lainnya. “Mereka (penerbit) banyak banting setir ke buku agama, namun ada pula yang mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari 180 penerbit di Jabar, baru satu penerbit melakukan PHK terhadap 500 karyawannya Januari ini,” ungkap Anwarddin. (B.81)** (9 Januari 2009)
Sumber tulisan:
http://aa-dosen.blogspot.com/
0 Response to "Rendah, Budaya Menulis Dosen di Indonesia"
Post a Comment