Menyikapi Musibah Bencana Alam

Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan bahkan merasakan semakin sering terjadinya bencana alam dan fenomena alam yang kacau. Mulai dari puting beliung, banjir, semburan gas, gunung meletus, gempa bumi, stunami, curah hujan yang tidak menentu. Bencana demi bencana seolah tiada henti datang silih berganti mendera bangsa ini. Kejadian dan fenomena ini mendatangkan kepanikan, karena bukan saja telah menimbulkan kehancuran dan kerugian material-finansial yang luar biasa, tetapi juga menelan korban jiwa ratusan ribu dan mengancam keselamatan umat manusia.
Berbagai tanda tanya dan kemungkinan muncul dari masyarakat awam; mungkin bumi sudah tua dan mendekati kehancuran, mungkin kiamat sudah dekat, mungkin juga peringatan kepada manusia yang sudah melupakan sang pencipta.
Dari kaca mata para pakar, fenomena alam yang kacau ini disebabkan terus meningkatnya pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan global merupakan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat dari menipis dan rusaknya lapisan ozon di atmosfir bumi. Pemanasan global menyebabkan mencairnya salju di kutub dan memicu naiknya permukaan air laut, sehingga lambat laun sebagian daratan akan tergenang air laut. Perubahan pola iklim dunia mengakibatkan suatu daerah mengalami pemanasan tetapi di daerah lain mengalami pendinginan yang tidak wajar. Akibat kacaunya arus panas dan dingin mengakibatkan fenomena perubahan cuaca yang tidak menentu, arah angin yang berubah drastis sehingga sering menimbulkan puting beliung.
Dipandang dari sisi agama, musibah bencana yang seolah tanpa jeda ditambah musibah kecelakaan transportasi yang juga sangat sering terjadi bukan fenoma alam semata yang menjadi penyebabnya, tetapi lebih disebabkan prilaku manusia sendiri. Manusia telah melakukan kerusakan di muka bumi, bukan hanya merusak fisik bumi dengan eksploitas berlebihan tetapi juga telah rusak moral-kepribadiannya. Demi mencapai kepuasan, manusia tidak lagi mengindahkan nilai dan norma agama, dekadensi moral melanda semua lapisan masyarakat, dari rakyat sampai pejabat. Keserakahan dan kerakusan manusia semakin menjadi jadi ketika kesejahteraannya makin membaik. Karena itulah Tuhan memberi peringatan keras kepada manusia dengan menurunkan bencana demi bencana agar manusia sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Mungkin Tuhan mulai enggan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, atau alam mulai bosan bersahabat dengan kita, demikian Ebiet G Ade dalam sebuah tembang lawasnya, rasanya lagu itu sangat cocok untuk mengingatkan kita semua.
Jadi bencana demi bencana yang terjadi tentu bukan sekadar karena fenoma alam semata tetapi juga mengandung hikmah di dalamnya, mungkin merupakan peringatan bahkan mungkin juga hukuman karena manusia telah mengingkari nikmat yang telah Allah berikan, kita perlu menggunakan kerangka berfikir rasional dan renungan sesuai informasi yang dengan tegas disebutkan dalam Al-Quran:
"Dan Allah telah membuat suatuperumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat".
Semoga Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 112 tersebut menjadi renungan kita dalam menyikapi berbagai musibah bencana yang datang silih berganti menerpa bangsa ini.

0 Response to "Menyikapi Musibah Bencana Alam"

Post a Comment