Anaknya yang sudah naik ke kelas enam diajaknya terjun ke lumpur.  Disuruhnya sang anak untuk bergelut dengan berbagai macam yang ada di  sawah, layaknya ia sendiri dulu saat kecil.
“Inilah tempat pendidikanmu  yang sebenarnya.” Pekik sang bapak.
Tapi anaknya tak begitu peduli dengan kata-kata bapaknya. Lagipula  mungkin dia memang tak paham dengan kalimat sang bapak. Ia tetap asyik  dengan air kotor sawah.
“Aku tak ingin nantinya kamu bingung selepas menunaikan pendidikan di  sekolah umum. Aku ingin kamu tidak membawa map kesana-kemari untuk  mencari lowongan kerja. Aku ingin kamu bisa mencari penghasilan dari  sekarang.”
Ujar laki-laki itu sambil mencangkul lumpur untuk diratakan.
Anaknya masih saja tidak memperdulikan apapun yang keluar dari mulut  bapaknya. Ia asyik sebagai mana lazimnya anak seusianya yang masih  senang bermain. Sambil tak berhenti mencangkuli tanah, laki-laki itu  terus memberikan “kuliah” pada anaknya.
“Kamu jangan sampai seperti aku, terlunta-lunta di negeri orang,  bekerja pada seorang majikan yang tak pernah tahu tentang seorang  pekerja.”
Kali inipun sang anak tak bergeming. Ia asyik dengan belut-belut di  sawah itu. Omongan bapaknya bak masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Laki-laki itu adalah mantan TKI di negeri seberang. Secara ekonomi ia  tak sukses. Ia tidak seperti teman-temannya yang bisa langsung bikin  rumah dan punya kendaraan. Empat tahun di negeri orang benar-benar  menemukan nasib yang buruk. Dengan pengalaman seperti itu, ia bertekad  membanting tulang untuk usaha di negri sendiri.
Pengalaman pahit di negeri orang tak ingin terulang pada anaknya.  Sehingga dari sekarang ia sudah bikin “kampus” untuk anaknya, biar  setamat sekolah tingkat atas nanti, tak bingung cari makan.
Ia terus mengejar target membikin paling tidak sepuluh kolam dulu.  Dengan jumlah sebanyak itu, maka penghasilan bulanannya akan lumayan. Ia  sudah menghitungnya.
Kejadian pahit di negri orang, menyadarkan dirinya, bahwa ia memang  kurang bersyukur. Padahal di kampung, ia punya sawah, ladang dan ia juga  punya modal pendidikan sekolah lanjutan. Ia bertekad ingin memanfaatkan  potensi dirinya yang memang sejak kecil hidup di lingkungan persawahan.
Dengan modal yang ada, ahirnya ia menciptakan ladang usaha sendiri.   Beternak belut, menjadi pilihannya. Sang anak senantiasa diajaknya untuk  terlibat, biar masih dibawah umur. Tujuannya hanya satu bahwa anaknya  kelak tak menjadi generasi bingung selepas menempuh pendidikan umum di  sekolah.  Padahal ladang usaha di depan mata tak pernah habis untuk  dieksploitasi.
Dan yang jelas, ia tak menginginkan anaknya mengikuti jejaknya  bekerja di luar negri, karena di dalam negri masih kaya raya, jika mau  memanfaatkan otaknya.
Dan Allah SWT, ternyata menyediakan modal yang luar biasa kepada  semua mahluknya. Kita saja yang sering memaknai kata “modal” dengan  pemaknaan yang sangat sempit. Sampai-sampai peluang di depan mata kita,  sering tidak kelihatan. Sering kita tidak menyadari, bahwa otak adalah  modal tak terhingga yang sudah di-invest-kan Allah kepada kita. 
Sumber : http://www.eramuslim.com/
0 Response to "Kampus Sang Anak"
Post a Comment