Kurikulum pendidikan nasional tak menganggap nilai keimanan sebagi suatu pendukung bagi peningkatan mutu pendidikan
Oleh: Rifqi Akbar*
*) Penulis adalah master candidate in Islamic Banking and Finance, Kulliyah of Economics, University College of Bahrain
Oleh: Rifqi Akbar*
BEBERAPA waktu yang lalu di pagi hari saya sedang menonton acara talkshow berita pada salah satu stasiun TV swasta. Pada saat itu sedang membahas wacana tentang tes keperawanan bagi siswi baru yang akan masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA).
Pada mulanya wacana itu tercetus dari salah satu anggota DPRD Jambi, menurut beliau hal tersebut penting karena fenomena pergaulan bebas yang terjadi pada anak sekolah saat ini sudah sangat meresahkan sehingga wacana tersebut diharapkan dapat meminimalisir jumlah pelaku dari pergaulan bebas pada anak sekolah.
Tentu wacana tersebut sangat mengagetkan dan terdengar sangat ekstrim jika benar direalisasikan. Seperti yang telah terduga wacana tersebut mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak baik dari masyarakat yang ditanyakan mengenai hal ini maupun dari narasumber yang hadir saat itu, ada yang mengatakan cara tersebut tidak tepat karena masalah keperawanan adalah hak privasi dari seseorang, sekolah tidak berhak mencampurinya.
Lalu ada lagi yang memberikan pernyataan tidak setujunya dengan alasan hal itu merupakan sesuatu yang privat dan untuk zaman sekarang masalah itu (keperawanan) sudah tidak penting lagi, lebih baik kita mengurusi masalah narkoba yang dampaknya lebih luas.
Lebih jauh, pendapat dari seorang pengamat pendidikan yang diundang dalam talkshow tersebut mengatakan tidak pas kalau kita menggunakan tes keperawanan itu sebagai syarat untuk masuk SMA karena hal itu (keperawanan) merupakan sesuatu yang privat. Menurutnya, mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi sehingga kalau hal itu dilakukan sama saja sekolah melanggar hak asasi seseorang.
Masih pendapat beliau bahwa kalau kita menggunakan cara itu berarti sama saja kita membuka aib dari para birokrat pendidikan kalau mereka telah gagal dalam mendidik siswanya dan tes tersebut tidak ada pengaruhnya untuk mutu pendidikan.
Kalau kita lihat, seperti inilah cara pola pikir dari masyarakat Indonesia saat ini. Tampaknya sudah tidak ada tempat lagi bagi agama dalam melihat suatu masalah. Banyak kalangan, saat ini lebih suka menggunakan bendera HAM demi untuk menafikan agama. Bahkan, untuk mementingkan segala hal, hanya menggunakan dalil HAM daripada menggunakan dalil agama dan al-Quran.
Pemikiran yang seperti ini lah yang menjadi buah hasil dari paham sekularisme yang dikampanyekan oleh Barat.
Sekularisme dalam UU Sisdiknas
Sudah banyak ditulis di media ini, istilah sekularisme tidak bisa dipisahkan dengan Hervey Cox, teolog dan juga sekaligus sosiolog dari Harvard University.
Mungkin karena dialah yang berhasil mencetuskan pengertian istilah ini melalui buku terkenalnya “The Secular City”, Harvey menjelaskan bahwa dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis sehingga kita perlu penduniawian hal-hal yang bersifat duniawi, dengan demikian menurut Tiar Anwar Bachtiar hal ini merupakan sebgai proses kejatuhan dari agama.
Lebih parah lagi ternyata proses ini telah merasuk kedalam sistem pendidikan kita.
Dalam Undang-undang Sisdiknas yang diluncurkan pada tahun 2003 lalu dalam Bab prinsip penyelenggaraan pendidikan pasal 4 disebutkan bahwa:
Pertama, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Kedua, pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna
Ketiga, pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat
Keempat, pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran
Kelima, pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat
Kelima, pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan
Jika kita telaah dengan seksama mengenai prinsip penyelenggaraan pendidikan ini, sungguh sangat terlihat bahwa undang-undang pendidikan kita memang telah dirasuki oleh paham ini, dari ayat pertama dalam bab ini, poin pertama yang harus dijunjung tinggi adalah hak asasi seseorang sehingga dalam pandangan pejabat negeri ini hak asasi itu lah yang paling utama diatas dari prinsip agama, nilai-nilai agama tidak boleh berbenturan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Lebih lanjut lagi dalam bab tersebut dapat dilihat bahwa adanya ketidak seimbangan yang diajarkan dalam sistem pendidikan indonesia, kita lebih dicekoki dengan hal-hal yang sifatnya lebih kepada perkembangan tingkat intelektualitas dan mengesampingkan tingkat keimanan, nilai keagamaan yang hanya muncul dalam satu kata dari sekian poin itu seperti hanya menjadi korban dari sebuah kompromi politik.
Mereka menganggap nilai keimanan bukanlah suatu pendukung bagi peningkatan mutu pendidikan, biarlah semakin meluasnya pergaulan bebas asal intelektualitas mereka tetap terjaga dengan demikian mutu pendidikan yang tolak ukurnya dengan angka-angka diatas secarik kertas tetap terpelihara.
Dari fenomena yang terjadi saat ini, negara ini sepertinya sudah memasuki suatu proses kehancuran iman yang merupakan suatu kehancuran paling terbesar bagi umat manusia seperti yang dikatakan oleh Rasulullah SAW “ Apabila perzinahan dan sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka” (HR Thabrani dan al-hakim).
Dengan demikian, mari kita sama-sama untuk menanamkan prinsip-prinsip agama dalam diri kita dan berlindunglah dalam Islam dari setiap permasalahan dunia karena Islam merupakan agama yang sempurna dan komprehensif bagi seluruh tantangan zaman. Sesuai janji Allah SWT bahwa “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maidah:3). Wallahu A’lam.
Pada mulanya wacana itu tercetus dari salah satu anggota DPRD Jambi, menurut beliau hal tersebut penting karena fenomena pergaulan bebas yang terjadi pada anak sekolah saat ini sudah sangat meresahkan sehingga wacana tersebut diharapkan dapat meminimalisir jumlah pelaku dari pergaulan bebas pada anak sekolah.
Tentu wacana tersebut sangat mengagetkan dan terdengar sangat ekstrim jika benar direalisasikan. Seperti yang telah terduga wacana tersebut mendapat berbagai kecaman dari berbagai pihak baik dari masyarakat yang ditanyakan mengenai hal ini maupun dari narasumber yang hadir saat itu, ada yang mengatakan cara tersebut tidak tepat karena masalah keperawanan adalah hak privasi dari seseorang, sekolah tidak berhak mencampurinya.
Lalu ada lagi yang memberikan pernyataan tidak setujunya dengan alasan hal itu merupakan sesuatu yang privat dan untuk zaman sekarang masalah itu (keperawanan) sudah tidak penting lagi, lebih baik kita mengurusi masalah narkoba yang dampaknya lebih luas.
Lebih jauh, pendapat dari seorang pengamat pendidikan yang diundang dalam talkshow tersebut mengatakan tidak pas kalau kita menggunakan tes keperawanan itu sebagai syarat untuk masuk SMA karena hal itu (keperawanan) merupakan sesuatu yang privat. Menurutnya, mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi sehingga kalau hal itu dilakukan sama saja sekolah melanggar hak asasi seseorang.
Masih pendapat beliau bahwa kalau kita menggunakan cara itu berarti sama saja kita membuka aib dari para birokrat pendidikan kalau mereka telah gagal dalam mendidik siswanya dan tes tersebut tidak ada pengaruhnya untuk mutu pendidikan.
Kalau kita lihat, seperti inilah cara pola pikir dari masyarakat Indonesia saat ini. Tampaknya sudah tidak ada tempat lagi bagi agama dalam melihat suatu masalah. Banyak kalangan, saat ini lebih suka menggunakan bendera HAM demi untuk menafikan agama. Bahkan, untuk mementingkan segala hal, hanya menggunakan dalil HAM daripada menggunakan dalil agama dan al-Quran.
Pemikiran yang seperti ini lah yang menjadi buah hasil dari paham sekularisme yang dikampanyekan oleh Barat.
Sekularisme dalam UU Sisdiknas
Sudah banyak ditulis di media ini, istilah sekularisme tidak bisa dipisahkan dengan Hervey Cox, teolog dan juga sekaligus sosiolog dari Harvard University.
Mungkin karena dialah yang berhasil mencetuskan pengertian istilah ini melalui buku terkenalnya “The Secular City”, Harvey menjelaskan bahwa dunia ini tidak lebih rendah dari dunia agamis sehingga kita perlu penduniawian hal-hal yang bersifat duniawi, dengan demikian menurut Tiar Anwar Bachtiar hal ini merupakan sebgai proses kejatuhan dari agama.
Lebih parah lagi ternyata proses ini telah merasuk kedalam sistem pendidikan kita.
Dalam Undang-undang Sisdiknas yang diluncurkan pada tahun 2003 lalu dalam Bab prinsip penyelenggaraan pendidikan pasal 4 disebutkan bahwa:
Pertama, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Kedua, pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna
Ketiga, pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat
Keempat, pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran
Kelima, pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat
Kelima, pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan
Jika kita telaah dengan seksama mengenai prinsip penyelenggaraan pendidikan ini, sungguh sangat terlihat bahwa undang-undang pendidikan kita memang telah dirasuki oleh paham ini, dari ayat pertama dalam bab ini, poin pertama yang harus dijunjung tinggi adalah hak asasi seseorang sehingga dalam pandangan pejabat negeri ini hak asasi itu lah yang paling utama diatas dari prinsip agama, nilai-nilai agama tidak boleh berbenturan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Lebih lanjut lagi dalam bab tersebut dapat dilihat bahwa adanya ketidak seimbangan yang diajarkan dalam sistem pendidikan indonesia, kita lebih dicekoki dengan hal-hal yang sifatnya lebih kepada perkembangan tingkat intelektualitas dan mengesampingkan tingkat keimanan, nilai keagamaan yang hanya muncul dalam satu kata dari sekian poin itu seperti hanya menjadi korban dari sebuah kompromi politik.
Mereka menganggap nilai keimanan bukanlah suatu pendukung bagi peningkatan mutu pendidikan, biarlah semakin meluasnya pergaulan bebas asal intelektualitas mereka tetap terjaga dengan demikian mutu pendidikan yang tolak ukurnya dengan angka-angka diatas secarik kertas tetap terpelihara.
Dari fenomena yang terjadi saat ini, negara ini sepertinya sudah memasuki suatu proses kehancuran iman yang merupakan suatu kehancuran paling terbesar bagi umat manusia seperti yang dikatakan oleh Rasulullah SAW “ Apabila perzinahan dan sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka” (HR Thabrani dan al-hakim).
Dengan demikian, mari kita sama-sama untuk menanamkan prinsip-prinsip agama dalam diri kita dan berlindunglah dalam Islam dari setiap permasalahan dunia karena Islam merupakan agama yang sempurna dan komprehensif bagi seluruh tantangan zaman. Sesuai janji Allah SWT bahwa “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maidah:3). Wallahu A’lam.
*) Penulis adalah master candidate in Islamic Banking and Finance, Kulliyah of Economics, University College of Bahrain
0 Response to "Sekali Lagi, Sekularisme dalam Pendidikan Nasional"
Post a Comment