Moment hari raya kurban ini rasanya lebih pas memuat tulisan bertajuk Refleksi Ibadah Kurban. Dalam perjalanan paro akhir 2010 ini, rakyat Indonesia mengalami banyak cobaan berat. Pada saat karut-marut politik dan ekonomi mengambang, banyak bencana terjadi. Karena itu momentum Idul Kurban tahun ini tepat dijadikan pijakan untuk merevitalisasi kadar keimanan dan ketakwaan dengan melakukan munasabah berbagai khilaf dan dosa yang pernah kita lakukan sebagai khalifah fil ardli.
Untuk mengambil hikmah kehadiran Idul Adha di tengah berbagai bencana, kiranya kita perlu menguak makna Idul Kurban secara tepat sesuai tujuan pensyariatan Islam yakni pencapaian kemaslahatan dunia dan akhirat. Hal itu sesuai dengan harapan Alquran bahwa Islam adalah agama yang benar-benar membawa rahmatan lil’alamin.
Dalam Islam, ibadah kurban tidak sekadar mengalirkan darah hewan kurban dan membagi-bagikan dagingnya kepada fakir miskin, tetapi juga memiliki nilai dan makna rohaniah yang sangat dalam serta dampak sosial yang sangat besar (baca Surat al-Haj: 37).
Ibadah kurban mengandung dua makna yakni spiritual-transendental dan makna sosial humanis. Sisi spiritual transendental sebagai konskuensi wajar dari ketaatan dan kepatuhan hamba kepada Allah, sedangkan sisi sosial humanis tampak dari adanya pendistribusian hewan kurban kepada yang berhak (mustahiq).
Namun hal ini akan bernilai manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah. Ini artinya pendistribusian daging kepada yang berhak pada dasarnya mengandung maksud upaya pengentasan sosial, termasuk pengentasan korban banjir, korban tanah longsor, dan korban bencana-bencana yang lain.
Secara psikologis simbolis, berkurban melambangkan pembuangan sifat hewani yang melekat pada diri manusia, misalnya sifat kejam, serakah, dan egois yang disimbolkan dengan tebusan penyembelihan hewan. Dikiaskan darah yang mengalir dari hewan kurban, hendaknya dapat membuat insyaf bahwa hewan saja rela berkurban demi menuruti kemauan manusia karena kekuasaannya. Maka secara nalar sehat, wajar jika manusia semestinya mau berkurban di jalan Allah yang Maha Kuasa.
Jadi jelas bahwa pada dasarnya ibadah kurban sangat terkait dengan hablum minallah dan hablum minannas yang arahnya pada pencapaian hasanah dunia dan akhirat (kemaslahatan dunia akhirat). Hanya saja dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, kiranya perlu adanya reinterpretasi (pemaknaan ulang) terhadap ibadah kurban sesuai dengan kondisi riil, agar tidak out of date, di samping agar maqashidus syari’ah dari adanya Idul Kurban dapat tercapai sesuai dengan harapan syariat Islam.
Refleksi sosial dari ibadah kurban tampaknya sudah tidak relevan lagi kalau hanya sekadar pendistribusian daging kurban, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang ada di depan mata kita. Jika itu yang dilakukan, dampak dari dibagikannya daging-daging tersebut akan menjadi muspra (tidak berguna) dan isyraf (berlebih-lebihan), sedangkan hal-hal yang sangat dibutuhkan malah tidak terpenuhi.
Karena itu, formulasi pendistribusian daging kurban tidak sebatas dalam arti daging kurban secara harfiah namun butuh pemaknaan yang lebih luas, yakni pendistribusian sesuai dengan kebutuhan yang sangat diperlukan oleh masyarakat sehingga pengurbanannya benar-benar membumi. Ini kiranya yang dikehendaki Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwa makna sejati dari ibadah kurban adalah pendistribusian nilai-nilai kemanusiaan (nilai-nilai humanis), tidak hanya sekadar pendistribusian daging.
Dalam konteks kekinian, saat saudara kita terkena bencana dan butuh bantuan maka berkurban benar-benar mendatangkan kemaslahatan manakala tidak semata-mata membagi-bagikan daging hewan kurban namun mendistribusikan sesuatu yang benar-benar diperlukan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Refleksi Ibadah Kurban"
Post a Comment