Budaya plagiat sebagai bentuk Kemiskinan intelektual

"Seandainya kemiskinan berwujud manusia, niscaya aku akan membunuhnya"
'Ali Bin Abi Thalib RA.

Kemiskinan istilah yang paling dikenal oleh siapapun, tapi kita lebih kenal kemiskinan karena tidak memiliki harta benda. Justru kemiskinan fenomenal justru kemiskinan intelektual. sebagimana diungkapkan Dr Dawam Raharjo bahwa maslah kemiskinan dan kepapaan tidak lagi menjadi fokus dalam dialog dikalangan cendikiawan. faktor ini antara lain karena masalah ini sudah terlalu lama dibicarakan secara berulang-ulang sehingga kadang-kadang membosankan (Kompas, 21/10/92)
Kemiskinan yang kita lihat terkadang secara majazi bukan hakiki bahkan orang kaya tapi miskin hati seperti tercabut dari akar hatinya seperti patologi jiwa seperti perasaan dihantui ketidakpastian tanpa tujuan (Skizofrenia), berperasangka buruk (paranoia), rasa takut (neurotik) dan lebih parah lagi prilaku dimana mereka melakukan sesuatu, logika dan akal sehatnya ditinggalkan (manik-defresif)Dengan ciri-ciri yang kentara seperti tidak inovatif, tidak kreatif dan tidak peduli dengan lingkungan, hilangnya rasa malu. Tahun 90-an pernah terungkap tuduhan Ismet Fanani yang menuduh disertasi Dr yahya Muhaimin yang berjudul Bisnis dan politik di indonesia" menduplikasi karya ilmuwan Australia Dr richard Robinson yang berjudul "Capitalism and the bureaucratic state in Indonesia" (Kompas, 22 November 1992)
Tentu saja mengenai kemiskinan lainnya yan tidak dilihat dari harta bendanya saja. lepas dari membosankan tidaknya budaya plagiat diklangan akademisi hal yang biasa dan tentu saja ada beberapa ketentuan dasar yang harus dipenuhi bagaimana cara mengutip dari hasil karya orang lain dan seberapa banyak dikatakan plagiat kalau kita mengutif langsung.

0 Response to " "

Post a Comment