Written by Seyyed Hosein Nasr
Dalam al-Qur`an dan Hadits, kata  al-hikmah sering kali ditemukan. Ulama Muslim yang tersebar mencoba  mendefinisikan terma al-hikmah ini, dan juga istilah falsafah, yang  telah masuk ke dalam bahasa Arab melalui terjemahan Yunani pada Abad  ke-8 atau 9. Di satu sisi, apa yang disebut filsafat dalam bahasa  Inggris, ternyata ditemukan pula dalam konteks peradaban Islam. Bahkan  tidak hanya pada aliran-aliran filsafat, tetapi juga beberapa disiplin  lain seperti kalâm, ma’rifah dan ushûl fiqh. Dan di sisi lain, dengan  berbedanya latar belakang para ulama itu, maka berbeda juga pandangan  dan pemahamannya tentang definisi dari hikmah dan falsafah. Tentunya hal  ini menyisakan satu pertanyaan penting; sejauh manakah perhatian Islam  terhadap filsafat?
Dalam sejarah Islam,  istilah-istilah yang ada dalam kajian filsafat Islam acapkali  diperdebatkan oleh para filosof, ulama kalam dan terkadang oleh kaum  Sufi. Dari masa ke masa mereka membincangkan definisi terma-terma itu  tanpa berhasil mencapai titik temunya. Pada perjalananya ini, istilah  hikmah dan falsafah masih terus digunakan.
Sedangkan terma-terma derivatif  seperti hikmah ilâhiyyah dan hikmah muta’âliyyah berkembang di aspek  lain dan memunculkan pemaknaan-pemaknaan baru, terutama dalam alirannya  Mulla Sadra. Menariknya, hikmah, dalah satu terma yang masih  diperdebatkan ini sering direbutkan oleh para sufi, mutakallimîn dan  filosof.
Dasar agama yang mereka gunakan  pun sama; hadits Nabi yang berbunyi “alayka bi al-hikmah? Fa`inna  al-khayr fi sal-hikmah”. Kalangan sufi semisal Tirmidhi dan Ibnu Arabi  menyebut kebijaksanaan yang tersingkap melalui setiap manifestasi dari  simbol sebagai hikmah sebagaimana termaktub dalam masterpiece-nya  bertajuk Fushûsh al-Hikâm. Sedangkan beberapa mutakallimîn seperti Fakhr  al-Din al-Razi mengklaim bahwa yang disebut Hikmah adalah kalâm, bukan  filsafat. Ibnu Khaldun pun mengamini pandangan ini dengan menyebut Kalam  muta`akhkhirîn sebagai filsafat atau Hikmah.
Dalam tulisan ini akan coba  diuraikan pemahaman para filosof Muslim tentang definisi dan arti konsep  filsafat serta istilah hikmah dan falsafah. Tentu saja pemahaman ini  juga mencakup apa yang dipahami oleh bangsa Yunani tentang istilah  philosophia dan beberapa definisi dari sumber-sumber Yunani, agar dapat  diketahui bagaimana istilah dan definisi tersebut masuk ke dalam Bahasa  Arab.
Beberapa definisi dari sumber-sumber Yunani yang dikenal kalangan filosof Muslim adalah :
- Filsafat (al-falsafah) adalah pengetahuan tentang segala eksistensi (keberadaan) sebagaimana ia ada.
 - Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang seluruh hal yang sakral dan profan.
 - Filsafat adalah mencari perlindungan dalam kematian, yang berarti, mencintai kematian itu sendiri
 - Filsafat adalah berusaha menjadi seperti-Tuhan dalam batas kemampuan manusia.
 - Filsafat adalah adalah seni dari segala seni dan ilmu dari segala ilmu.
 - Filsafat adalah sinonim dari hikmah.
 
Para Filosof Muslim  mengkompromikan definisi-definisi filsafat yang mereka peroleh dari  sumber-sumber klasik ini dengan apa yang mereka kenal dalam istilah  Qur`ani sebagai Hikmah, seraya meyakini bahwa asal hikmah itu sendiri  adalah suci. Filosof Muslim pertama, Abu Ya’qub al-Kindi menulis dalam  bukunya “ On First Philosophy “:
Filsafat  adalah ilmu pengetahuan tentang realita segala sesuatu dalam batas  kemampuan manusia, karena orientasi filosof dalam pengetahuan teoretis  adalah untuk mendapatkan kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis adalah  berprilaku sesuai dengan kebenaran. Al-Farabi di samping menyetujui  pengertian ini, juga menambahkan pembedaan antara filsafat yang didasari  oleh kepastian (al-yaqîniyyah) seperti halnya demonstrasi (baca :  burhan), dan filsafat yang didasari oleh opini (al-madznûnah) seperti  halnya dialektika dan sophistry. Beliau juga bersikeras menyatakan bahwa  filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan dan berkaitan dengan  segala sesuatu yang ada. Ibnu Sina juga menerima definisi-definisi awal  ini sambil membuat penjelasan-penjelasannya sendiri.
Dalam bukunya “’Uyûn al-hikmah”,  dia mengatakan: “Al-hikmah (filsafat) adalah penyempurnaan jiwa manusia  melalui konseptualisasi dan pembenaran (tashdîq) realita teoretis dan  praktis sesuai dengan tingkat kemampuan manusia”. Namun, ia beranjak  lebih jauh dalam kehidupan setelah kematian untuk membedakan antara  Filsafat Paripatetik dan apa yang ia sebut sebagai “Filsafat Oriental”  (al-hikmah al-masyriqiyyah) yang tidak hanya didasari oleh rasionalisasi  namun juga disertai pengetahuan [sadar], yang sekaligus juga menjadi  batu awal bagi Filsafat Iluminasi Suhrawardi.
Murid utama Ibnu Sina,  Bahmanyar, di saat yang sama juga mendefinisikankan filsafat hampir  dekat dengan pengetahuan tentang segala yang ada, sebagaimana yang  dilakukan Ibnu Sina dalam karya-karya Peripatetiknya, seperti al-Syifâ`,  mengulang ajaran Aristotelian bahwa filsafat adalah ilmu tentang segala  hal yang ada sebagaimana ia ada. Bahmanyar dalam pembukaan bukunya  “Talil”, menulis: “Tujuan ilmu-ilmu filosofis adalah mengetahui segala  yang ada”.
Pemikiran Isma’ili dan  Hermetico-Pythagorean, yang dalam perkembangannya lebih dikenal sebagai  Filsafat Peripatetik (sekalipun berbeda dalam perspektif filosofis),  juga mendefinisikan filsafat tidak jauh dari para Filosof Peripatetik di  atas, seraya memberikan penegasan lebih jauh pada hubungan antara aspek  teoretis filsafat dan dimensi praktisnya, antara berpikir secara  filosofis dan mencapai kehidupan yang bahagia. Jaringan dan hubungan  yang terlihat sejak aliran filsafat Islam awal ada, menjadi lebih  kentara semenjak Suhrawardi. Kemudian, hakîm dalam masyarakat Islam  tidak hanya diartikan sebagai orang yang mampu mengkaji konsep-konsep  abstrak secara cerdas, namun juga orang yang bisa hidup dengan  mengamalkan kebijaksanaan (al-hikmah) yang ia pahami secara teoretis.
Bukan gagasan Barat modern yang  berkembang di dalam dunia Islam, namun apa yang digulirkan oleh Ikhwan  al-Shafa (abad 4-10) lah yang memberikan pengaruh kapanpun filsafat  Islam berkultivasi. Ikhwan al-Shafa menulis, “Permulaan Filsafat adalah  kecintaan pada ilmu, dilanjutkan dengan pengetahuan tentang realitas  segala sesuatu yang ada sesuai dengan kemampuan manusia, dan berakhir  pada perkataan serta perbuatan yang sesuai dengan pengetahuan tersebut”.
Bersama Suhrawardi kita tidak  hanya memasuki era baru, namun juga alam lain dari filsafat Islam.  Suhrawardi, penemu perspektif intelektual baru dalam Islam ini, lebih  memilih istilah Hikmah al-Isyrâq daripada Falsafah al-Isyrâq untuk judul  karya filosofisnya yang kedua dan aliran yang ia dirikan. Murid terbaik  Suhrawardi dan penerjemah buku Hikmah al-Isyraq ke dalam Bahasa  Perancis, Henry Corbin, lebih memilih istilah teosofi daripada filsafat  untuk mengalibahasakan kata “hikmah” ke Bahasa Perancis sebagaimana yang  dipahami oleh Suhrawardi sendiri, dan para Filosof mutakhir seperti  Mulla Sadra.
Kita juga mengalihbahasakan  istilah Mulla Sadra “al-hikmah al-muta’âliyah” ke dalam bahasa Inggris  sebagai “transcendent theosophy” untuk menghargai terjemahan Corbin atas  istilah “hikmah” tersebut. Tentu saja terdapat argumen yang separuhnya  benar bahwa pada masa-masa sekarang ini, istilah “teosofi” mendapatkan  konotasi yang peyoratif dalam bahasa-bahasa Eropa, terutama bahasa  Inggris, dan diasosiasikan dengan okultisme ataupun pseudo-esoterisme.  Sebagaimana istilah filsafat juga mengalami pembatasan yang dilakukan  oleh mereka yang menggelutinya selama dua bad terakhir. Kalau Hobbes,  Hume dan Ayer adalah filosof, maka mereka yang disebut oleh Suhrawardi  sebagai Hukama` bukanlah filosof, begitu juga sebaliknya.
Penyempitan makna filsafat,  perceraian antara filsafat dan praktik spiritual di Barat dan terutama  reduksi makna filsafat menjadi sekedar rasionalisme atau empirisisme,  menyebabkan perlunya pembedaan antara arti istilah “hikmah” yang  dipahami Suhrawardi atau Mulla Sadra, dan aktivitas akal murni yang  disebut filsafat di beberapa kalangan tertentu di Barat sekarang ini.  Penggunaan istilah teosofi untuk menunjuk pengertian terakhir dari kata  “hikmah” ini didasari oleh maknanya yang sudah lebih dulu ada dan lebih  mengakar dalam sejarah intelektual Eropa, dan diasosiasikan dengan  tokoh-tokoh seperti Jacob Bohme, bukan sebagai istilah yang baru  digunakan pada abad 13-19 oleh beberapa okultis Inggris.
Kalau hal tersebut benar, maka  penting sekali untuk menegaskan pengertian yang dimiliki oleh Suhrawardi  dan seluruh filosof Muslim mutakhir tentang istilah “hikmah” terutama  sebagai al-hikmah al-ilâhiyyah (secara literal berarti kebijaksanaan  ilahi atau teosofi) yang harus disadari sebagai keseluruhan wujud  seseorang dan tidak hanya aspek intelektualnya saja.
Suhrawardi melihat adanya  “hikmah” dalam Yunani kuno sebelum berkembangnya rasionalisme  Aristotelian dan memaknai hikmah sebagai perilaku keluar dari tubuh  fisik dan naik ke alam cahaya, seperti yang dilakukan oleh Plato.  Gagasan yang sama juga ditemukan di seluruh karya-karyanya, dan ia  bersikeras bahwa level hikmah tertinggi memerlukan penyempurnaan akal  teoretis sekaligus penyucian jiwa.
Dalam pandangan Mulla Sadra,  tidak hanya terdapat sintesis berbagai macam aliran pemikiran Islam  awal, tapi juga sintesis berbagai pandangan awal tentang makna kata  “hikmah” dan konsep filsafat. Pada permulaan Asfar dia menulis, seraya  mengulang beberapa pandangan dan menyimpulkan beberapa definisi awal,  “Filsafat adalah menyempurnakan jiwa sampai pada tingkat kemampuan  manusia melalui pengetahuan tentang realitas esensial dari segala  sesuatu, dan dengan penilaian terhadap eksistensi mereka, didasari  dengan bukti kuat dan tidak hanya diperoleh lewat opini atau peniruan.  Kemudian di dalam buku al-Syawâhid al-Rububiyyah, dia menambahkan,  “[dengan hikmah] seseorang menjadi (layaknya) alam pemikiran yang  menggambarkan alam nyata dan mirip dengan image atas eksistensi  universal”.
Dalam buku pertama tentang Air  yang bersangkutan dengan wujud, Mulla Sadra secara detail membahas  beberapa definisi kata “hikmah”, seraya memberikan penekanan tidak hanya  pada pengetahuan teoretis dan “menjadi alam pemikiran yang  merefleksikan alam nyata”, tapi juga pelepasan diri dari nafsu dan  penyucian jiwa dari segala kotoran duniawi atau apa yang disebut filosof  Muslim sebagai tajarrud atau purifikasi jiwa.
Mulla Sadra menerima makna  “hikmah” yang dipahami oleh Suhrawardi dan kemudian memperluas makna  filsafat hingga mencakup dimensi iluminasi dan kesadaran yang diperoleh  melalui isyrâq serta pemahaman sufi atas istilah tersebut. Baginya dan  tokoh-tokoh sezamannya, serta para pendahulunya, filsafat dipandang  sebagai pengetahuan utama tentang ketuhanan yang dicapai melalui derajat  kenabian, dan al-hukama` merupakan manusia paling sempurna yang  menempati derajat di bawah para Nabi danImam.
Konsep filsafat yang berkaitan  dengan pencapaian kebenaran tentang asal segala wujud dan menggabungkan  pengetahuan akal dengan penyucian dan penyempurnaan wujud diri manusia  ini, berlaku sampai sekarang di manapun tradisi filsafat Islam  berlanjut, dan pada kenyataannya, telah menjadi representasi tradisi  filsafat Islam yang paling sempurna hingga hari ini.
Para pakar abad 14-20 seperti  Mirth Ahmad Ashtiyani, pengarang buku “Ndmayi Rahbardn-i Dmuzish-i  Kitdb-i Takwin” (Petunjuk Pengajaran Tentang Kitab Penciptaan) ; Sayyid  Muhammad Kazim Ansar, pengarang sekian banyak karya termasuk Wahdah  Wujûd (Kesatuan Transenden Wujud); Mahdi Ilahi Qumsha’i, pengarang  “Hikmat-i Ildhi Khwdss wa Amm” (Filsafat / Teosofi - Umum Dan Khusus)  dan Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabataba`i, pengarang sejumlah karya  terutama “Usul--i Falsafa -yi Rializm” (Prinsip-prinsip Filsafat  Realisme), semuanya menulis tentang definisi filsafat sesuai dengan yang  telah disebutkan di atas dan mereka hidup sesuai dengan pemahaman  tersebut.
Masing-masing dari karya dan  hidup mereka, merupakan testimoni tidak hanya terhadap seribuan tahun  lebih perhatian filosof Muslim atas makna konsep dan istilah filsafat,  tapi juga terhadap signifikansi definisi Islami atas falsafah sebagai  sebuah realita yang mengubah akal dan jiwa dan yang tidak pernah  terpisah dari penyucian spiritual dan kesalehan yang diimplikasikan oleh  istilah “hikmah” dalam konteks Islam.
Diterjemahkan oleh : Humaidi Hambali
DAFTAR PUSTAKA
Tags : Defenisi Filsafat dalam Islam, Konsep Filsafat dalam Islam, Filsafat dalam Islam, Defenisi Filsafat Islam
Assalamu Alaikum wr-wb, perkenalkan nama saya ibu Rosnida zainab asal Kalimantan Timur, saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS. saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi pemerintahan manapun, saya mengabdikan diri sebagai guru disebuah desa terpencil, dan disini daerah tempat saya mengajar hanya dialiri listrik tenaga surya, saya melakukan ini demi kepentingan anak murid saya yang ingin menggapai cita-cita, Sudah 9 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 4 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari sekolah tempat saya mengajar mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan ke jakarta untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk Drs Tauhid SH Msi No Hp 0853-1144-2258. siapa tau beliau masih bisa membantu anda, Wassalamu Alaikum Wr Wr ..
ReplyDelete