Pengangguran Intelektual: Pantaskah Kaum Intelektual Menganggur?


Frase itu (Pengangguran Intelektual – Red.) beberapa kali saya dengar belakangan ini. Entah kenapa, saya merasa frase itu adalah sebuah bentuk penghinaan dan perendahan derajat. Bagaimana bisa kata pengangguran digabungkan dengan intelektual? Tapi setelah saya merenung sejenak, ya... Faktanya memang bicara demikian. Hal ini membuat saya penasaran, hal apa yang menyebabkan ini terjadi?

Masa iya sih. Seorang yang dikaruniai puluhan bahkan ratusan buku selama 4 tahun masih menganggur? Seorang yang telah menganalisis dan menyelesaikan banyak masalah masih menganggur? Seorang yang telah berkembang dalam lingkungan sosial yang membangun dan kompetitif masih menganggur? Dan banyak lagi kebingungan-kebingungan saya tentang fakta ini.

Ada beberapa sebab menurut saya mengapa hal ini bisa terjadi?

1. Pola Pikir Lama Warisan Belanda
Menjadi jajahan Belanda selama 3,5 abad benar-benar mempengaruhi pola pikir dan karakter bangsa ini. Belanda banyak memberi warisan bagi bangsa ini. Tapi sayang, warisan itu kini tak lagi relevan tapi masih saja kita gunakan. Salah satunya adalah sekolah dan menuntut ilmu untuk menjadi pegawai (itulah mengapa saya merekomendasikan reorientasi belajar). Belanda memberikan pendidikan kepada pribumi agar bisa dijadikan tenaga terampil dan berkualitas tapi murah. Itulah mengapa banyak kaum intektual yang menganggur, karena lamarannya terus-terusan ditolak. Padahal masih banyak peluang lain yang belum dilirik (Peluang bisnis salah satunya).

2. Berorientasi pada Status dan Jabatan
Menurut saya ini juga salah satu warisan Belanda. Dulu, pribumi merasa bangga ketika mereka diangkat sebagai pegawai kompeni, pribumi lain dianggap lebih rendah darinya. Itulah mengapa banyak kaum intelektual yang gengsi untuk memulai dari bawah. Mereka lebih bangga menjadi karyawan kantoran dengan gaji 3 juga perbulan, dibanding jadi tukang nasi goreng dengan laba 300 ribu perhari. Selain itu, mereka juga merasa tidak bisa berkontribusi tanpa jabatan. Padahal sesungguhnya, banyak kontributor besar di bangsa ini yang tak punya jabatan struktural. Karena jabatan itu sementara, tapi kontribusi dan kapasitas itu abadi.

3. Hanya Mengejar Prestasi Belajar
Bayangkan! Jika seorang doktor ternyata menjadikan disertasi sebagai karya terakhirnya. Itulah yang akan terjadi ketika seseorang hanya mengejar prestasi belajar. Sehingga, jangan heran jika banyak sarjana S1 yang hanya mampu menawarkan ijazahnya. Hal ini karena mereka tidak membangun tradisi belajar. Tradisi yang membuat para sarjana, master, dan doktor terus membaca, menulis, meneliti, dan berdiskusi meski tak lagi mengejar ijazah dan dipepet tugas kuliah. Menurut mereka prestasi hanyalah bonus dari kontribusi dan karya yang telah mereka ciptakan.

Sudah jelas, bahwa akar masalahnya sebenarnya terletak pada pola pikir kita. Pola pikir yang diwariskan oleh nenek moyang yang kini tak lagi relevan dengan tantangan zaman. Pola pikir yang telah mengkungkung kita dalam ketertinggalan. Pola pikir yang membuat kemajuan itu tak kunjung datang, meski bangsa ini punya puluhan juta pejuang intelektual.

Ingat! Perubahan besar adalah akumulasi dari perubahan-perubahan kecil yang saling menguatkan. Begitu pun, tak ada perubahan dalam skala bangsa, sebelum kita memulainya dari skala individu. Tidak ada 10 tanpa 1, begitu pun tidak ada 200 juta tanpa 1. Dekatkan bangsa Indonesia dengan kemajuan dengan terus melakukan perubahan dan perbaikan, mulai dari diri sendiri, hal kecil, dan sekarang juga!

Salam Kreatif - Kritis,
Pratama

0 Response to "Pengangguran Intelektual: Pantaskah Kaum Intelektual Menganggur?"

Post a Comment